Gowes to Kemuning

Tempat Kejadian Perkara: Kemuning

Waktu Kejadian Perkara: 24 November 2016

Acara ini sebenarnya sudah lama jadi agenda. Tapi gagal dan gagal lagi karena salah satu goweser yang supersibuk menjadi pemicu kegagalan. Kali ini pun yang bersangkutan terpaksa dieliminiasi biar gak gagal lagi.

Gowes kali ini melibatkan dua guru muda di sebuah pesantren di Sragen. Start pun dimulai dari area pesantren. Diiringi pandang mata ratusan santri kami memulai genjot pedal. Kami berempat saja, dua guru dan dua lagi penghuni tetap setiap acara. Armada yang kami libatkan adalah Polygon Heist, Giant Talon, Specialized Pitch Pro, dan Giant Anthem X. Gak seragam baik sepeda maupun pakaian, seperti biasanya aja.

Agenda sebenarnya adalah mengajak makan siang beberapa teman ke Resto Kemuning. Sudah lama tidak ke sana. Menu favorit adalah Cah Kangkung ditemani teh ijo dan ikan mas asam pedas atau nila asam manis. Nasi berposisi sebagai lauknya. Nggowes hanya sekedar jadi moda transportasi kami saat ini. Tapi meskipun begitu, bagi sebagian peserta tentu memiliki sudut pandang berbeda. Ah, biar saja…

Rute yang kami tempuh adalah sebagaimana biasa menghindari jalan utama. Jadi start dari area pondok pesantren di desa Pilangbangu, melalui jalan desa Pucuk, mengarah ke Bejing, Pengkok lalu keluar menuju Celep. Sepanjang rute ini, jalanan penuh lubang dan berlumpur karena sisa hujan. Kanan kiri sawah dan perkebunan dan sebagian kecil perkampungan.

Dari Celep kami menyusuri jalan beraspal yang mulus bergelombang hingga sampai di terminal Batu Jamus. Terminal ini berada di simpul pertigaan ke arah Sragen, Mojogedang, dan Grompol. Kami ambil yang ngarah ke Mojogedang tapi belok kiri sesudah pasar Batu Jamus, tepatnya di Kwadungan. Dari titik start kira-kira berjarak 25km. Gak jauh cuman setengah jalan mesti agak nguras tenaga. Nah, mulai dari titik ini sampai Kemuning nanti kami sudah ditunggu oleh tanjakan demi tanjakan. Dengan mobil aku pernah menempuh rute ini dengan waktu kurang lebih setengah jam, tentunya rute bermobil beda dengan rute bersepeda onthel. Jarak tempuh dengan mobil paling sekitar belasan kilometer dengan full tanjakan, tetapi nggowesnya sering belok dan keluar dari jalan beraspal. Dan yang aku ingat kemarin, sekitar jam 8 pagi start dari pertigaan terminal bus Batu Jamus, kami nggowes santai dan kadang brenti menikmati pemandangan, brenti di warung area persawahan untuk teh panas dan tempe goreng, juga sempat berteduh karena derasnya hujan, sampai di Resto Kemuning memakan waktu hingga setengah rolasan, pas waktunya makan siang.

Selesai makan siang dan sholat, kami balik turun. Dan sungguh Masya Allah wa Subhanallah wa Alhamdulillah… model turun kami layaknya anak kecil yang bercanda dengan teman sebaya…. ceria dan lepas. Dengan hanya mengikuti jalur utama yang beraspal mulus, kami sampai kembali di pesantren dalam waktu sekitar setengah jam saja.

Dan menjadi catatan bagi diriku sendiri, bahwa setiap hal yang aku temui akan memberi pengalaman baru yang berbeda dari yang pernah ada.

Catatan lain adalah, bahwa dua guru pesantren yang jadi peserta gowes kali ini boleh dikata bukan goweser. Hanya pernah ngonthel waktu masih jadi santri dulu. Hanya pernah, bukan sering atau rutin. Tapi meski sempat dihiasi kram perut dan klemun-klemun pas mode speed, secara fakta, mereka memiliki daya tahan yang sungguh mantap. Begitulah santri di mayoritas pesantren memang mendapat gemblengan jiwa dan raga. Allahu Akbar…

Nah, meski gak banyak foto, kali ini biar gambar yang bercerita.

teh-panas-tempe-goreng

pasca-pengisian

way-back-home

otot

ngos-ngos

ngos-ngos-juga

2 thoughts on “Gowes to Kemuning

monggo... serius boleh, lucu juga boleh